Studi Austronesia Buka Sinergi Riset
Simposium Internasional Diaspora
Austronesia yang digelar pada 18-23 Juli 2016 di Nusa Dua, Badung, Bali,
menyimpulkan sembilan hasil dan rekomendasi. Garis besar dari perhelatan
simposium internasional ini adalah studi tentang Austronesia membuka peluang
kerja sama lintas negara.
Hasil dan rekomendasi simposium disampaikan Direktur Pelestarian Cagar Budaya
dan Permuseuman Harry Widianto, akhir pekan lalu, dalam penutupan Simposium
Internasional Diaspora Austronesia di Jembrana, Bali.
"Hasil dan rekomendasi pertama adalah simposium ini mendorong kontribusi
penyebaran penutur Austronesia sebagai model dalam studi migrasi global. Kedua,
melalui simposium ini, para peneliti bisa saling berbagi data tentang penutur
Austronesia dari berbagai macam perspektif multidisiplin," ujarnya.
Berikutnya, poin ketiga hasil dan rekomendasi simposium adalah simposium ini
menekankan nilai-nilai dasar budaya Austronesia, yaitu menjaga keseimbangan
aspek-aspek kehidupan, meliputi sosial, alam, dan spiritual. Lalu, poin keempat
adalah simposium ini mendorong generasi peneliti mendatang untuk fokus pada
studi Austronesia.
"Rekomendasi kelima, simposium ini mendorong peneliti dan pemerintah untuk
bekerja sama dengan masyarakat dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan
warisan budaya Austronesia, khususnya konservasi gambar cadas kuno sebagai ciri
khas dari warisan budaya Austronesia," ucap Harry.
Dalam poin keenam disebutkan, simposium telah memberikan pengetahuan tentang
persatuan dan harmoni kepada masyarakat bahwa kita berasal dari berbagai
tempat. Kemudian, pada poin ketujuh, simposium diharapkan mendorong Indonesia
sebagai negara dengan populasi terbesar penutur Austronesia dan secara
geografis memiliki kawasan terluas bisa menjadi kontributor utama dalam studi
Austronesia di tingkat global.
Pada poin ke delapan disebutkan, Simposium Internasional Diaspora Austronesia
menjadi sarana membangun jaringan kerja sama baru di tingkat internasional
dalam hal penelitian, konservasi, pameran, publikasi, dan tukar-menukar
pengetahuan. Terakhir, pada poin kesembilan, diharapkan ke depan simposium
serupa bisa digelar secara rutin di negara-negara tempat tinggal penutur
Austronesia.
Banyak masalah
Arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Truman Simanjuntak,
mengatakan, saat ini studi tentang Austronesia mengalami banyak perkembangan.
Namun, pada saat yang sama masih banyak masalah yang belum terpecahkan, baik di
Indonesia maupun di dunia internasional.
"Untuk memahami lebih baik tentang diaspora Austronesia di
kepulauan-kepulauan, kita masih memerlukan lebih banyak data dari beberapa
daerah yang belum bisa terjangkau. Selain itu, kita juga perlu mendata ulang
penanggalan yang terlalu tua di beberapa situs," kata Truman.
Dalam lingkup global, menurut dia, diperlukan jaringan dan kolaborasi
penelitian lintas negara serta pendekatan lintas disiplin ilmu untuk bisa
memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang penyebaran dan perkembangan
dalam ruang dan waktu penutur Austronesia. Studi tentang Austronesia sangat
menarik karena merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sangkot Marzuki mengatakan, di tengah
arus globalisasi, penelusuran asal-usul bangsa diperlukan untuk mengetahui
bagaimana gambaran pemikiran, pemahaman, serta perilaku suatu bangsa. Selain
itu, pengetahuan mengenai asal-usul nenek moyang juga dapat bermanfaat bagi
penguatan identitas bangsa Indonesia di masa datang.
Menurut Sangkot, migrasi manusia sangat berasosiasi dengan genetika, bahasa,
budaya, dan penyakit. Karena itulah, penelitian tentang penutur Austronesia
bisa menghasilkan banyak kajian yang tetap aktual dengan kondisi zaman
sekarang.
Simposium Internasional Diaspora Austronesia dihadiri 200 akademisi dan
peneliti dari 19 negara. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu, meliputi
arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, paleoiklim,
paleogeografi, paleoantropologi, paleomusikologi, linguistik, dan genetika. Di
Indonesia, simposium ini adalah yang kedua kali setelah digelar di Solo pada
2005. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berharap, dengan melihat
kembali eksistensi perjalanan penutur Austronesia, diharapkan masyarakat bisa
melihat kembali bagaimana keberagaman di Indonesia tercipta.
"Indonesia adalah bangsa di mana semuanya memiliki kesetaraan untuk saling
memahami satu sama lain dan untuk bisa hidup bersama-sama. Kesamaan dalam
berbahasa Indonesia dan kesetaraan merupakan salah satu fondasi dari kehidupan
di bangsa ini," ucapnya.
Hasil dan rekomendasi simposium disampaikan Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Harry Widianto, akhir pekan lalu, dalam penutupan Simposium Internasional Diaspora Austronesia di Jembrana, Bali.
"Hasil dan rekomendasi pertama adalah simposium ini mendorong kontribusi penyebaran penutur Austronesia sebagai model dalam studi migrasi global. Kedua, melalui simposium ini, para peneliti bisa saling berbagi data tentang penutur Austronesia dari berbagai macam perspektif multidisiplin," ujarnya.
Berikutnya, poin ketiga hasil dan rekomendasi simposium adalah simposium ini menekankan nilai-nilai dasar budaya Austronesia, yaitu menjaga keseimbangan aspek-aspek kehidupan, meliputi sosial, alam, dan spiritual. Lalu, poin keempat adalah simposium ini mendorong generasi peneliti mendatang untuk fokus pada studi Austronesia.
"Rekomendasi kelima, simposium ini mendorong peneliti dan pemerintah untuk bekerja sama dengan masyarakat dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan warisan budaya Austronesia, khususnya konservasi gambar cadas kuno sebagai ciri khas dari warisan budaya Austronesia," ucap Harry.
Dalam poin keenam disebutkan, simposium telah memberikan pengetahuan tentang persatuan dan harmoni kepada masyarakat bahwa kita berasal dari berbagai tempat. Kemudian, pada poin ketujuh, simposium diharapkan mendorong Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar penutur Austronesia dan secara geografis memiliki kawasan terluas bisa menjadi kontributor utama dalam studi Austronesia di tingkat global.
Pada poin ke delapan disebutkan, Simposium Internasional Diaspora Austronesia menjadi sarana membangun jaringan kerja sama baru di tingkat internasional dalam hal penelitian, konservasi, pameran, publikasi, dan tukar-menukar pengetahuan. Terakhir, pada poin kesembilan, diharapkan ke depan simposium serupa bisa digelar secara rutin di negara-negara tempat tinggal penutur Austronesia.
Banyak masalah
Arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Truman Simanjuntak, mengatakan, saat ini studi tentang Austronesia mengalami banyak perkembangan. Namun, pada saat yang sama masih banyak masalah yang belum terpecahkan, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
"Untuk memahami lebih baik tentang diaspora Austronesia di kepulauan-kepulauan, kita masih memerlukan lebih banyak data dari beberapa daerah yang belum bisa terjangkau. Selain itu, kita juga perlu mendata ulang penanggalan yang terlalu tua di beberapa situs," kata Truman.
Dalam lingkup global, menurut dia, diperlukan jaringan dan kolaborasi penelitian lintas negara serta pendekatan lintas disiplin ilmu untuk bisa memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang penyebaran dan perkembangan dalam ruang dan waktu penutur Austronesia. Studi tentang Austronesia sangat menarik karena merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sangkot Marzuki mengatakan, di tengah arus globalisasi, penelusuran asal-usul bangsa diperlukan untuk mengetahui bagaimana gambaran pemikiran, pemahaman, serta perilaku suatu bangsa. Selain itu, pengetahuan mengenai asal-usul nenek moyang juga dapat bermanfaat bagi penguatan identitas bangsa Indonesia di masa datang.
Menurut Sangkot, migrasi manusia sangat berasosiasi dengan genetika, bahasa, budaya, dan penyakit. Karena itulah, penelitian tentang penutur Austronesia bisa menghasilkan banyak kajian yang tetap aktual dengan kondisi zaman sekarang.
Simposium Internasional Diaspora Austronesia dihadiri 200 akademisi dan peneliti dari 19 negara. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu, meliputi arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, paleoiklim, paleogeografi, paleoantropologi, paleomusikologi, linguistik, dan genetika. Di Indonesia, simposium ini adalah yang kedua kali setelah digelar di Solo pada 2005. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berharap, dengan melihat kembali eksistensi perjalanan penutur Austronesia, diharapkan masyarakat bisa melihat kembali bagaimana keberagaman di Indonesia tercipta.
"Indonesia adalah bangsa di mana semuanya memiliki kesetaraan untuk saling memahami satu sama lain dan untuk bisa hidup bersama-sama. Kesamaan dalam berbahasa Indonesia dan kesetaraan merupakan salah satu fondasi dari kehidupan di bangsa ini," ucapnya.
Editor
|
: Yunanto Wiji Utomo
|
Sumber
|